Berbicara tentang
keikhlasan berarti bicara tentang amal itu sendiri, karena Allah l tidak akan menerima amal
seorang hamba kecuali yang memang ia murnikan dari keinginan-keinginan lain
selain Allah l. artinya
bahwa suatu amal tidak akan berguna ketika ia tidak diperuntukkan bagi Allah l, amal itu akan hilang
sia-sia atau bahkan menjadi malapetaka bagi pelakunya, na’udzubillah.
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ، قَالَ: جَاءَ
رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: أَرَأَيْتَ
رَجُلًا غَزَا يَلْتَمِسُ الْأَجْرَ وَالذِّكْرَ، مَالَهُ؟ فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا شَيْءَ لَهُ» فَأَعَادَهَا ثَلَاثَ
مَرَّاتٍ، يَقُولُ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا
شَيْءَ لَهُ» ثُمَّ قَالَ: «إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ إِلَّا مَا
كَانَ لَهُ خَالِصًا، وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ»
Dari Abi Umamah
al-Bahili a,
ia berkata, ‘ada seorang laki-laki yang datang kepada Nabi `, lalu orang itu berkata:
bagaimana menurutmu jika ada seseorang yang berperang dan ingin mendapatkan
pahala serta diingat oleh manusia, apa yang ia dapatkan?, maka Rasulullah ` menjawab, ‘ia tidak
mendapatkan apa-apa.’ Mendengar hal itu orang tersebut mengulanginya hingga
tiga kali dan Rasulullah pun menjawab, ‘ia tidak mendapatkan apa-apa.’
Lalu Rasulullah `
bersabda: “Sesungguhnya Allah l
tidak menerima suatu amal kecuali yang diikhlaskan untuk-Nya dan guna mencari
wajah Allah l.”
(HR. Al-Nasa’i)
Sebelum sampai pada
amal yang hendak ia kerjakan, seorang muslim diharuskan untuk memperhatikan
motivasi dan dorongan jiwanya dalam mengerjakan amal tersebut; apakah ia
mengerjakan perbuatan itu dikarenakan keinginan meraih ridha dan pahala dari
sisi Allah l
atau ia mengerjakan perbuatan itu karena adanya motivasi-motivasi lain yang ia
harapkan. Jika ia mengerjakan perbuatan itu dengan niat untuk mendapatkan ridha
dan pahala dari sisi Allah l,
maka hendaknya ia mengerjakannya dan bersemangat dalam melakukannya; namun jika
motivasinya adalah keinginan mendapatkan apa yang ada pada manusia, maka
hendaknya ia mengurungkan niatnya tersebut dan berusaha untuk memperbaikinya.
Karena kita memang diperintahkan untuk beribadah dalam keadaan memurnikan
ibadah itu hanya untuk Allah l.
Allah l
berfirman:
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada
Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang
lurus...” (QS. Al-Bayyinah: 5)
Al-Haddad
menjelaskan dalam kitab ‘Akhlaq al-Nabi ` fi al-Qur’an wa al-Sunnah’
bahwa ayat ini memberikan faedah bahwa ikhlas merupakan syarat dalam dinul
Islam, dan Islam adalah agama seluruh para Nabi; dan memohon keikhlasan dalam
setiap syari’at merupakan dalil akan keagungan dan kedudukan akhlaq mulia ini.
Imam al-Qurthubi v mengatakan, ‘di sini ada
dalil atas wajibnya niat dalam semua ibadah, karena ikhlas merupakan perbuatan
hati dan ikhlas adalah ketika ibadah itu dilakukan untuk mendapatkan keridhoan
Allah l, bukan yang
lainnya.
Ikhlas adalah amalan
hati yang tidak ada yang mampu mengetahuinya kecuali pemiliknya yaitu Allah l. dan oleh karena itu pula
keikhlasan memiliki kedudukan yang agung bagi amalan seseorang.
Ibnul Qayyim
al-Jauziyyah v
berkata, ‘amalan hati adalah ruh dari peribadatan itu sendiri dan intinya,
sehingga ketika amalan-amalan anggota badan kosong dari amalan hati ini, maka
ia ibarat jasad yang telah mati yang tak lagi memiliki ruh; dan niat itulah
amalan hati.’
Keikhlasan juga
merupakan kunci pembuka da’wah para Rosul dan pondasi terkuat yang mereka
gunakan sebagai pijakan da’wahnya, sebagaimana yang Allah l firmankan dalam surat al-Nahl ayat 36:
“Dan sungguh Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat
(untuk menyerukan): "Beribadahlah hanya kepada Allah, dan jauhilah thaghut
itu...” (QS. Al-Nahl: 36)
Ibn Katsir v berkata, ‘Allah l terus mengutus para Rosul
kepada manusia dengan membawa tauhid (keikhlasan dalam beribadah) sejak
terjadinya kesyirikan pada Bani Adam tepatnya pada kaum Nabi Nuh pyang telah Allah utus Nabi
Nuh p kepada mereka,
dimana beliau adalah Rosul pertama yang Allah l utus ke muka bumi hingga akhirnya ditutup
dengan Nabi Muhammad `
yang da’wahnya meliputi jin dan manusia dari Timur hingga ke Barat dan
kesemuanya itu Allah l
nyatakan “Dan tidaklahKami mengutus sebelummu (Muhammad) seorang Rasul
kecuali Kami mewahyukan kepadanya bahwa tidak ada Ilah (yang berhak diibadahi)
kecuali Aku, maka beribadahlah kalian hanya kepadaKu’ (Qs. Al-Anbiya: 25)
Demikian tinggi dan
agungnya keikhlasan hingga Allah l memuji orang-orang yang
menghiasi diri dan diketahui keikhlasannya seperti para Nabi. Di samping itu
Allah l juga memberikan
ancaman besar kepada orang-orang yang tetap menyekutukan-Nya hingga ajal menjemputnya
dan akan menjadikan amal-amal mereka seperti debu yang berterbangan tiada guna.
Dalam sebuah hadis
qudsi Allah l
mengatakan: “Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu;
barangsiapa yang beramal dan menyekutukan Aku dengan yang lain didalamnya, maka
Aku tinggalkan amalnya itu dan sekutunya.” (HR. Muslim)
Dan Nabi ` juga telah mengingatkan
kita semua tentang bahaya ketidakikhlasan dalam beramal sebagaimana yang beliau
sabdakan: “Barangsiapa yang mempelajari ilmu yang seharusnya diniatkan untuk
mencari keridhoan Allah, lalu ia mempelajari ilmu tersebut agar ia mendapatkan
sesuatu dari dunia, maka ia tidak akan mencium bau surga pada hari kiamat.”
(HR. Abu Daud)
Keikhlasan yang
sepenuh hati adalah ketika seorang hamba melakukan suatu perbuatan dalam rangka
mendekatkan dirinya kepada Allah l.
Ia tidak melakukan perbuatan itu untuk manusia, tidak untuk mencari pujian dan
sanjungan dari manusia, tidak untuk mencari simpati mereka atau bentuk apapun
selain mencari keridhoan Allah l.Sehingga
keikhlasan dituntut untuk selalu ada dalam setiap peribadatan baik yang nampak
maupun yang tersembunyi, dan seorang hamba tidak mungkin dapat mencukupkan diri
dengan mengikhlaskan sebagian amalnya kemudian ia mengacuhkannya pada sebagian
yang lain.
Dalam kitab al-Fawa’id,
Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah v berkata, ‘Amal yang
dilakukan tanpa keikhlasan dan tidak mengikuti petunjuk syariat layaknya
seorang musafir yang mengisi perbekalan untuk perjalanannya dengan batu kerikil
yang ia bawa bersamanya namun tidak memberi manfaat baginya.
0 komentar:
Posting Komentar
"Berikan komentar terbaik antum untuk membangun pengembangan blog huda cendekia"