HUDACENDEKIA

Minggu, 11 Januari 2015

IKHLAS SEPENUH HATI



Berbicara tentang keikhlasan berarti bicara tentang amal itu sendiri, karena Allah l tidak akan menerima amal seorang hamba kecuali yang memang ia murnikan dari keinginan-keinginan lain selain Allah l. artinya bahwa suatu amal tidak akan berguna ketika ia tidak diperuntukkan bagi Allah l, amal itu akan hilang sia-sia atau bahkan menjadi malapetaka bagi pelakunya, na’udzubillah.
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ، قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: أَرَأَيْتَ رَجُلًا غَزَا يَلْتَمِسُ الْأَجْرَ وَالذِّكْرَ، مَالَهُ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا شَيْءَ لَهُ» فَأَعَادَهَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، يَقُولُ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا شَيْءَ لَهُ» ثُمَّ قَالَ: «إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ إِلَّا مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا، وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ»
Dari Abi Umamah al-Bahili a, ia berkata, ‘ada seorang laki-laki yang datang kepada Nabi `, lalu orang itu berkata: bagaimana menurutmu jika ada seseorang yang berperang dan ingin mendapatkan pahala serta diingat oleh manusia, apa yang ia dapatkan?, maka Rasulullah ` menjawab, ‘ia tidak mendapatkan apa-apa.’ Mendengar hal itu orang tersebut mengulanginya hingga tiga kali dan Rasulullah pun menjawab, ‘ia tidak mendapatkan apa-apa.’ Lalu Rasulullah ` bersabda: “Sesungguhnya Allah l tidak menerima suatu amal kecuali yang diikhlaskan untuk-Nya dan guna mencari wajah Allah l.” (HR. Al-Nasa’i)
Sebelum sampai pada amal yang hendak ia kerjakan, seorang muslim diharuskan untuk memperhatikan motivasi dan dorongan jiwanya dalam mengerjakan amal tersebut; apakah ia mengerjakan perbuatan itu dikarenakan keinginan meraih ridha dan pahala dari sisi Allah l atau ia mengerjakan perbuatan itu karena adanya motivasi-motivasi lain yang ia harapkan. Jika ia mengerjakan perbuatan itu dengan niat untuk mendapatkan ridha dan pahala dari sisi Allah l, maka hendaknya ia mengerjakannya dan bersemangat dalam melakukannya; namun jika motivasinya adalah keinginan mendapatkan apa yang ada pada manusia, maka hendaknya ia mengurungkan niatnya tersebut dan berusaha untuk memperbaikinya. Karena kita memang diperintahkan untuk beribadah dalam keadaan memurnikan ibadah itu hanya untuk Allah l.
Allah l berfirman:

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus...” (QS. Al-Bayyinah: 5)
Al-Haddad menjelaskan dalam kitab ‘Akhlaq al-Nabi ` fi al-Qur’an wa al-Sunnah’ bahwa ayat ini memberikan faedah bahwa ikhlas merupakan syarat dalam dinul Islam, dan Islam adalah agama seluruh para Nabi; dan memohon keikhlasan dalam setiap syari’at merupakan dalil akan keagungan dan kedudukan akhlaq mulia ini.
Imam al-Qurthubi v mengatakan, ‘di sini ada dalil atas wajibnya niat dalam semua ibadah, karena ikhlas merupakan perbuatan hati dan ikhlas adalah ketika ibadah itu dilakukan untuk mendapatkan keridhoan Allah l, bukan yang lainnya.
Ikhlas adalah amalan hati yang tidak ada yang mampu mengetahuinya kecuali pemiliknya yaitu Allah l. dan oleh karena itu pula keikhlasan memiliki kedudukan yang agung bagi amalan seseorang.
Ibnul Qayyim al-Jauziyyah v berkata, ‘amalan hati adalah ruh dari peribadatan itu sendiri dan intinya, sehingga ketika amalan-amalan anggota badan kosong dari amalan hati ini, maka ia ibarat jasad yang telah mati yang tak lagi memiliki ruh; dan niat itulah amalan hati.’
Keikhlasan juga merupakan kunci pembuka da’wah para Rosul dan pondasi terkuat yang mereka gunakan sebagai pijakan da’wahnya, sebagaimana yang Allah l firmankan dalam surat al-Nahl ayat 36:

“Dan sungguh Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Beribadahlah hanya kepada Allah, dan jauhilah thaghut itu...” (QS. Al-Nahl: 36)
Ibn Katsir v berkata, ‘Allah l terus mengutus para Rosul kepada manusia dengan membawa tauhid (keikhlasan dalam beribadah) sejak terjadinya kesyirikan pada Bani Adam tepatnya pada kaum Nabi Nuh pyang telah Allah utus Nabi Nuh p kepada mereka, dimana beliau adalah Rosul pertama yang Allah l utus ke muka bumi hingga akhirnya ditutup dengan Nabi Muhammad ` yang da’wahnya meliputi jin dan manusia dari Timur hingga ke Barat dan kesemuanya itu Allah l nyatakan “Dan tidaklahKami mengutus sebelummu (Muhammad) seorang Rasul kecuali Kami mewahyukan kepadanya bahwa tidak ada Ilah (yang berhak diibadahi) kecuali Aku, maka beribadahlah kalian hanya kepadaKu’ (Qs. Al-Anbiya: 25)
Demikian tinggi dan agungnya keikhlasan hingga  Allah l memuji orang-orang yang menghiasi diri dan diketahui keikhlasannya seperti para Nabi. Di samping itu Allah l juga memberikan ancaman besar kepada orang-orang yang tetap menyekutukan-Nya hingga ajal menjemputnya dan akan menjadikan amal-amal mereka seperti debu yang berterbangan tiada guna.
Dalam sebuah hadis qudsi Allah l mengatakan: “Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu; barangsiapa yang beramal dan menyekutukan Aku dengan yang lain didalamnya, maka Aku tinggalkan amalnya itu dan sekutunya.” (HR. Muslim)
Dan Nabi ` juga telah mengingatkan kita semua tentang bahaya ketidakikhlasan dalam beramal sebagaimana yang beliau sabdakan: “Barangsiapa yang mempelajari ilmu yang seharusnya diniatkan untuk mencari keridhoan Allah, lalu ia mempelajari ilmu tersebut agar ia mendapatkan sesuatu dari dunia, maka ia tidak akan mencium bau surga pada hari kiamat.” (HR. Abu Daud)
Keikhlasan yang sepenuh hati adalah ketika seorang hamba melakukan suatu perbuatan dalam rangka mendekatkan dirinya kepada Allah l. Ia tidak melakukan perbuatan itu untuk manusia, tidak untuk mencari pujian dan sanjungan dari manusia, tidak untuk mencari simpati mereka atau bentuk apapun selain mencari keridhoan Allah l.Sehingga keikhlasan dituntut untuk selalu ada dalam setiap peribadatan baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan seorang hamba tidak mungkin dapat mencukupkan diri dengan mengikhlaskan sebagian amalnya kemudian ia mengacuhkannya pada sebagian yang lain.
Dalam kitab al-Fawa’id, Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah v berkata, ‘Amal yang dilakukan tanpa keikhlasan dan tidak mengikuti petunjuk syariat layaknya seorang musafir yang mengisi perbekalan untuk perjalanannya dengan batu kerikil yang ia bawa bersamanya namun tidak memberi manfaat baginya.

0 komentar:

Posting Komentar

"Berikan komentar terbaik antum untuk membangun pengembangan blog huda cendekia"